Tulisan ini saya tulis bertepatan
dengan momen kemerdekaan 17 Agustus, bertepatan juga dengan momen dimulainya
Liga Inggris musim 2014/2015. Tapi,yang saya tulis ini gak ada kaitannya dengan
liga Inggris yang juga banyak ditunggu penggemarnya, meskipun yang saya bahas
ini masih ada hubungannya dengan sepakbola.
Di saat liga-liga top eropa mulai
digulirkan, fokus fans sepakbola Indonesia terpecah dengan tampilnya timnas
U-19 di HBT Brunei 2014. Dengan lawan yang kualitasnya sebenernya gak
bagus-bagus amat, tim yang dulunya sangat dipuja ini mendadak jadi bahan
cemoohan. Saya sendiri sudah mengamati tim didikan Indra Sjafrie ini sejak
jaman tim ini masih terkesan jadi buangan PSSI, sewaktu mereka menjadi juara di
salah satu turnamen junior dengan Gavin Kwan dan Sabeq Fahmi yang jadi
bintang, sampe akhirnya mereka tahun
lalu mencuri perhatian dengan jadi juara AFF junior dan lolos ke Piala Asia
tahun ini dengan mengalahkan KorSel, Juara Piala Asia terdahulu. Apa yang
terjadi di HBT 2014 (sampai tulisan ini ditulis, timnas U-19 baru dapet 1 poin
dari 4 pertandingan) harusnya jadi pelajaran, bukan jadi dasar untuk mencemooh
pemain muda yang masih punya masa depan cerah kedepannya. Ini memang tipikal
supporter Indonesia, tim jagoannya kalah dan omongan kasar, menghina dan gak
berguna keluar. Padahal, kalo dari pengamatan saya yang juga seorang fans, tim
ini masih punya potensi besar dan tidak pantas untuk dihina, paling tidak oleh
orang-orang yang mungkin belum memberi kontribusi apapun ke negara ini.
Untuk timnas sendiri, dengan
modal kelebihan saya dalam melakukan analisa asal-asalan dan ngawur, saya
memberikan sedikit pendapat mengenai alasan mereka gagal di piala yang
sebenernya juga bukan menjadi target mereka ini.
Miskin
Motivasi dan Pengaruh COTIF
Apa sebenernya
COTIF? Bagi mereka yang belum tau, COTIF ini adalah turnamen bergengsi yang
ditandingkan untuk tim junior dari berbagai negara dan dilaksanakan di Spanyol.
Sebelumnya Timnas U-19 sendiri diagendakan mengikuti turnamen ini agar bisa
bertanding dengan tim-tim besar (di COTIF, Indonesia satu grup dengan negara
ARGENTINA, klub BARCELONA, klub LEVANTE, dan negara MAURITANIA). Anda bisa
bayangkan bagaimana senengnya para pemain muda Indonesia bakal bertemu tim-tim
besar macam mereka (Terutama pemain Barcelona junior dan Argentina junior, di
grup satunya lagi masih ada juga timnas junior BRAZIL). Kualitas permainan tim
lawan yang jauh lebih tinggi jelas akan membuat pemain timnas lebih ngotot.
Hasil jelas bukan tujuan akhir, tapi paling enggak mereka akan terus
termotivasi. TAPI APA JADINYA? 2 minggu (kalo gak salah) sebelum turnamen
digelar, di saat paspor dan administrasi udah dirampungkan semua, tiba-tiba
PSSI membatalkan keikutsertaan tim U-19 dan menggantinya dengan tim U-21, yang
gilanya lagi belum ada persiapan sama sekali untuk mengikuti turnamen ini.
Sebagai pemain
muda, harapan untuk pergi ke Spanyol dan melawan tim berkelas dunia yang
sebelumnya begitu kuat pasti langsung hancur. GILAnya lagi, timnas U-19 justru
dikirim untuk tanding dengan tim ASEAN yang berlaga di HBT. Bukannya
menyepelekan tim-tim lawan, tapi timnas U-19 ini adalah juara ASEAN dan calon
kontestan Piala ASIA junior dengan target lolos ke PIALA DUNIA junior taun
depan, harusnya lawan yang dipilih tentu yang kualitasnya jauh di atas dan
bukannya yang satu level. Dari beberapa pertandingan, yang saya lihat para
pemain seperti gak punya motivasi untuk bermain dan untuk menang. Evan Dimas
yang umpan dan pergerakannya selama ini dikenal cukup bagus terkesan bermain
ceroboh…Ilham Udin yang sering jadi tumpuan juga gak istimewa2 amat
permainannya…jauh dibanding ketika mereka ini main di kualifikasi Piala Asia
dan Piala AFF junior, serta beberapa ujicoba yang lalu.Pergerakan mereka gak
seperti waktu mereka menjadi juara dan mengalahkan Korsel taun lalu.
Minim
Kreativitas
Saya emang bukan
pemain bola, bukan juga pelatih bola yang paham betul kondisi permainan. Tapi
dari pengamatan saya berdasarkan pengalaman bermain juga di Football Manager,
apa yang ditampilkan timnas U-19 terasa minim kreativitas. Model permainan yang
terus-menerus dikembangkan (disebut PEPEPA, PEndek-PEndek PAnjang) rasanya
kurang efektif kalo pemain kurang motivasi. Kombinasi pendek-pendek di belakang
dan tengah juga sering mentok gara-gara passing salah, yang anehnya SANGAT
JARANG terjadi sebelumnya.
Yang juga saya
amati adalah pergerakan dua sayap, yaitu Ilham Udin di kiri dan Maldini Palii
di kanan. Kedua sayap ini bermain terlalu melebar, padahal keduanya punya
kemampuan dribbling bagus, dan kemampuan cut-in yang luar biasa. Kemampuan
minim dalam memberi crossing berkualitas tertutupi karena mereka sering bermain
terlalu di pinggir. Saya sih berharap kedepannya, timnas ini “mencoba belajar”
bermain dengan formasi baru yang lebih mengutamakan keseimbangan tim dan juga
cocok dengan gaya permainan mereka sebagai variasi, misalnya 4-4-2.
Apapun, tulisan
saya ini Cuma curahan hati seorang fans yang tak terima timnas juniornya dihina
oleh pendukungnya sendiri. Sebenernya masih ada beberapa alasan lain yang saya
analisa secara asal bisa dijadikan alasan kegagalan, tapi saya males juga
nulisnya, hahahaha…..Saya yakin para pemain dan staf pelatih tentu gak mau
mendapat hasil seburuk ini, dan yang bisa kita lakukan kan sebenernya gampang…memberi
dukungan. Bukan malah menjatuhkan, dan yang paling parah menghina timnas yang
di masa depan akan jadi tumpuan utama sepakbola negara yang mencintai sepakbola
ini,.
Buat saya, yang paling penting itu menjaga optimisme kedepannya tentang timnas junior ini dan bukan jadi pesimis tanpa berusaha apa-apa, toh kalo misalnya dalam kondisi terburuk dan tidak kita harapkan tim ini nantinya gagal, bukannya itu hal yang biasa?
Buat saya, yang paling penting itu menjaga optimisme kedepannya tentang timnas junior ini dan bukan jadi pesimis tanpa berusaha apa-apa, toh kalo misalnya dalam kondisi terburuk dan tidak kita harapkan tim ini nantinya gagal, bukannya itu hal yang biasa?